Hikayat Lokalisasi


Masih melekat pada ingatan kita tentang penutupan lokalisasi besar di Surabaya tahun 2014 lalu. Seakan mendapatkan contoh nyata, DPRD Kota Makassar pun ingin melakukan hal yang sama, menutup lokalisasi yang berada di Jl. Nusantara. Sebenarnya ada dua macam paham yang bertekad untuk memerangi pelacuran. Pertama yang mewakili kaum agama, alasannya sudah sangat jelas, zina itu haram karena bersetubuh bagi yang bukan muhrimnya itu haram. Maka legalitas hubunganlah yang mereka permasalahkan. Akhirnya seunik apapun sebuah hubungan, asalkan hubungan itu legal, tak akan jadi masalah, sebagian kalanganpun menganggapnya halal. 


Lokalisasi Di Surabaya, Sumber: https://goo.gl/lFChPV
Hasilnya bisa kita liat di media-media mengenai nikah siri -merupakan cara yang paling banyak digunakan oleh pejabat bagi yang takut dosa-, yang sangat tidak melindungi kaum perempuan. Karena tidak bisa meminta tanggung jawab kedepannya disebabkan tidak adanya dokumen. Juga semakin banyaknya janda berusia belia yang tentu saja korban dari tradisi perkawinan singkat, biasanya disebut dengan kawin kontrak. Lain lagi dengan kumpul kebo, pasangan yang menjalani komitmen berumah tangga secara serius ini tetap anggap haram dan dilarang negara hanya dikarenakan tidak memiliki biaya untuk membuat buku nikah.


Jika kaum agama menekankan pada etika moral, maka berbeda dengan paham yang menganggap wanita yang menjual diri sebagai wanita yang tidak produktif, sebab malam untuk meningkatkan potensi diri. Mereka ini adalah “Gerakan Wanita Indonesia” atau Gerwani, organisasi yang sangat keras menentang prostitusi, poligami, kawin paksa, KDRT, serta giat memperjuangkan pendidikan proletar.  Sampai akhirnya rezim orde baru mengklaimnya sebagai kandang para pelacur tak bermoral. Lantas rezim itu mendesain ulang konsep organisasi wanita, hadirlah Dharma Wanita, yang membuat wanita kembali ke wilayah domestiknya, -pendamping suami.

Gerwani yang telah tiada menjadikan kaum agamis sebagai penyuara mutlak anti pelacuran dengan tujuan yang cukup jelas, menutup lokalisasi. Seakan bisa diselesaikan dengan solusi tersebut. Kita harus membuka wawasan kita terhadap hal ini. Dengan stigma negatif yang dimiliki lokalisasi telah menciptakan filter sendiri bagi konsumennya. Sehingga pria yang menjaga nama baiknya akan berpikir dahulu sebelum memasukinya. Selain itu dengan adanya lokalisasi, memudahkan pengontrolan bagi kesehatan mereka yang otomatis memaksa konsumennya untuk patuh pada prosedur seks aman guna menghindari penyakit kelamin.

Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah pekerjaan mereka yang belum tentuh beralih setelah penutupan itu. Teringat  pemahaman –yang sering diutarakan teman diskusi- mengatakan pelacur sebagai air comberan, maka Saluran air anggap saja lokalisasinya. Menjadi sangat aneh jika tidak menyukai comberan lantas menghancurkan saluran airnya, hasilnya air comberan memasuki dan mengotori rumah. Akhirnya konsumen pun bertebaran karena tidak ada lagi penyaringan. Mereka akan menyebar di sudut-sudut kota untuk mencari tempat mangkal yang baru. Sehingga mempersulit memantau kesehatan mereka disebabkan penyebaran PSK sulit dideteksi.

Para konsumen menjadi sangat potensial membawa penyakit ke dalam rumah. Ibu rumah tangga belakangan diketahui telah mengidap HIV bisa ditularkan pada balitanya. Alhasil HIV bukan cuma mengincar pelaku seks menyimpang, tetapi dengan mudah masuk ke dalam rumah dan menyerang penghuninya.

Konon prostitusi sudah setua pradaban manusia, sehingga memunculkan teori yang mengatakan “pelacuran tidak mungki hilang selama masih ada yang membutuhkannya. Maka yang harus diberantas adalah nafsu konsumennya. Peran agamawan sangat krusial dalam hal ini. Buat apa media mengorbitkan ustad yang membuat honornya setara dengan publik figur jika tidak mengubah akhlak yang menyaksikannya? atau masyarakat yang hanya menganggapnya sebagai dongeng tidur yang dilontarkan motivator SUPER yang meskipun memberikan motivasi tiap minggunya tapi penontonnya tidak pernah berkurang, seakan ditakdirkan gagal agar menonton terus-menerus.

Pastinya menutup lokalisasi menjadi sebuah pengakuan bahwa manusia tidak bisa diubah, sehingga spenggodalah yang mesti dihancurkan agar umat semoga bisa khilaf.

*Tulisan ini menyambut Hari Perempuan Internasional

CONVERSATION

Back
to top