Dilema untuk Publik Tahu



Tanggal 28 september setiap tahunnya diperingati international Right to Know Day atau Hari Hak Publik untuk Tahu. Mungkin masih sedikit yang mengetahui hal ini. Padahal indonesia menjadi salah satu dari delapan negara pelopor keterbukaan informasi di tingkat internasional. Bersama inggris, amerika serikat, dan sejumlah negara demokrasi lainnya. Pada tahun 2011 Indonesia yang diwakili oleh Presiden SBY, merupakan pendiri open goverment Partnership, sebuah kemitraan global untuk mendorong transparansi  dan partisipasi publik dalam tata kelola pemerintah.

Informasi Publik, Sumber: https://goo.gl/h0xLTJ
Inisiatif ini seolah sia-sia. Mengakses data publik pada situs lembaga pemerintah tetap sulit dan berbelit. Terlebih kualitas data yang tersedia pun tidak terjaga karena tidak ada standar kelengkapan informasi. Pemerintah tidak pernah mempublikasikan program sistematis untuk memastikan semua data yang  berkaitan dengan kepentingan publik bisa diakses dengan mudah oleh khalayak.


Meski sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), masyarakat yang memanfaatkan ini masih sedikit. Padahal sesuai dengan undang-undang ini masyarakat berhak  mendapatkan informasi, dan lembaga pemerintah wajib melayaninya. Gebrakan komisi informasi publik untuk memaksa semua kementrian dan lembaga untuk memperbaiki akses data mereka bagi khalayak juga belum nampak.

Proses implementasi  Undang-Undang KIP juga masih menghadapi kendala, salah satunya karena watak birokrasi yang masih cenderung eksklusif dan elitis. Hal tersebut di atas tercermin dalam sengketa informasi antara BEM Fakultas Sastra Unhas melawan Dekan Fak Sastra Unhas mengenai Rincian Anggaran Belanja Fakultas Sastra Unhas tahun 2013. Harus melewati serangkaian demonstrasi hingga berakhir pada sidang KIP untuk mendapatkannya. Tapi, ditengah implementasi Undang-Undang KIP yang kurang maksimal ini pemerintah justru mengajukan mengajukan RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Padahal RUU tersebut pernah ditolak oleh masyarakat pada periode pemerintahan yang lalu karena dinilai berpotensi mengancam kehidupan demokrasi.

Secara urgensi RUU rahasia negara tidak dibutuhkan karena pengaturan tentang rahasia negara secara eksplisit telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) khususnya Pasal 17 mengenai informasi yang dikecualikan. Secara substantif, ruang lingkup yang diatur dalam RUU ini sangat luas dan bersifat karet sehingga berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi khususnya kebebasan pers, menghambat pemberantasan korupsi.

Rahasia negara merupakan informasi yang untuk waktu tertentu tidak disampaikan kepada publik karena dapat menimbulkan ancaman keamanan nasional.  Hasil ini menjadikan rezim sekresi yang bersifat tertutup sehingga bertentangan dengan semangat Undang-Undang KIP.

Merupakan sinyal mematikan ketika publik menanti komitmen tegas pemerintah mendukung prinsip data terbuka, sebuah elemen penting dalam rezim keterbukaan informasi. Kita hanya berharap ada  terobosan kebijakan baru untuk memperluas penghormatan negara terhadap hak asasi ini.

CONVERSATION

Back
to top