Puisiku

Aku berjalan mendekati jendela dan nampak sebuah lorong
Yang disesaki jemuran. Ada becak lewat, pedagang sayur lewat
Waktu melenggang seperti siaran berita yang sayup terdengar
Dari kios rokok. Dipersimpangan orang-orang asik berjoget
Matahari mulai condong ke barat, udara masih membakar
Dan debu mengepul. Aku teringat pada sebuah puisi yang bercerita
Tentang makna kemerdekaan. Aku teringat pada seorang penyair
Yang lama terlupakan. Segeralah aku meluncur ke jalan raya
Menyusuri trotoar, menyambangi pasar dan terminal, memungut
Apa saja yang tersisa dari sampah dan limbah pembanguan.

Puisiku jarang sekali menyapa penyapu taman, penjaga pintu kereta
Kondektur bis kota atau penarik ojek. Bahkan puisiku tidak pernah
Menolong pengangguran atau membantu pengemis menyekolahkan
Anak-anaknya. Puisiku juga seperti pemerintah, sering lupa bertanya
Kenapa ada bayi dibuang ke tong sampah, kenapa ada tubuh manusia
Dipotong-potong seperti kelinci, kenapa banyak banjir dan gempa bumi
Kenapa banyak preman menjadi bupati, banyak pedagang menjadi menteri
Dan banyak kyai cengengesan di televisi. Puisiku, seperti juga birokrasi
Agak ruwet dan sulit dipahami. Dan seperti juga para wakil rakyat
Jangan-jangan puisiku hanya sibuk dengan dirinya sendiri.

Tiba-tiba aku teringat pada sebuah lagu dangdut tentang hak asasi
Juga pada penyanyinya yang seksi. Ketika aku mendekati jendela lagi
Kulihat kampung-kampung digusur, rumah-rumah susun dibongkar
Anak-anak menangis, ibu-ibu menjerit, sedang para pemuda tanggung
Melempari aparat keamanan dengan batu. Waktu seakan bergoyang
Angin berhembus kencang dan matahari menurunkan layar petang
Langit memerah seperti wajah mereka yang dirampas, seperti amarah
Mereka yang dijajah.Seorang tukang cukur nampak lelap tertidur
Dibawah naungan beringin yang subur. Senja bergeser pada malam
Lampu-lampu menyala dan sepi tumpah di halaman kelurahan.

Puisiku kadang luput menyalami pedagang asongan, penambal ban
Atau pemulung barang bekas. Bahkan puisiku tidak pernah menemani
Buruh tani menebus obat di apotik atau mendampingi kuli bangunan
Melunasi tagihan rumah sakit. puisiku, seperti juga partai politik
Sering malas bertanya kenapa masih banyak rakyat yang kesusahan
Kenapa harga-harga terus dilambungkan, kenapa minyak tanah menjadi
Barang langkah, kenapa harus mengimpor beras dari negara tetangga
Kenapa sawah-sawah malah dijadikan pabrik, kenapa hutan-hutan
Yang terbakar tidak kunjung dipadamkan dan semburan lumpur panas
Kian berkobar. puisiku, seperti juga pemilu, tentu saja bukan jawaban.


Sajak dari  Acep Zamzam Noor
Di sunting dari terbitan yang cukup tua..
Kompas, 20 januari 2008

CONVERSATION

Back
to top