Media sebagai Arena Perang Tanding




Pernahkah kita bertanya bagaimana berita yang kita baca atau tonton itu dibuat? Mungkin apabila sudah memenuhi kriteria baku penulisan seperti 5W+ 1H, berita tersebut sudah aktual ataupun sudah mengandung cover both side kita sudah tidak mempertanyakannya lagi. Sebelum menjadi bacaan atau tontonan, sebuah berita lapangan (Raw Material) harus melalui tahapan-tahapan penyaringan. Noam Chomsky menyebutnya dengan manufacturing consent

Yang pertama oleh Ownership of media. Hal yang tidak bisa dipungkiri bagi wartawan bila berita yang akan ditayangkan atau dimuat harus mendapat persetujuan oleh pemilik media, tidak perlu jauh untuk membuktikan hal ini, di Indonesia sebagian besar stasiun TV swasta dimiliki oleh hanya beberapa orang seperti HT dengan Grup MNC yang menguasai tiga stasiun Televisi, RCTI Global TV dan MNC TV. Selain itu ada ARB dangan Grupnya menaungi TV One dan ANTV. Adapula Metro TV yang dimiliki oleh SP. Pada tahun 2014 lalu, pemilik-pemilik stasiun televisi ini mencalonkan dirinya sebagai calon presiden, HT yang berasal dari Partai Hanura, ARB yang menjabat pemimpin Partai Beringin juga SP yang pendiri Partai Nasdem.


Pemberitaanpun diatur sedemikian rupa untuk menaikkan elektabilitas masing-masing. Berbagai isu sosial menjadi jualan politik, akhirnya media tidak lagi menyalurkan informasi yang dibutuhkan publik. Media –menjadi berpolitik- tak lagi menyiarkan berita tetapi hanya menjadi juru kampanye pemiliknya.

Ilustrasi Pengaruh Media

Maka jangan heran bila menjelang pemilu 2014 lalu kita tidak akan mendengar berita seputar lumpur lapindo disiarkan oleh TV One atau ANTV, tapi kita akan melihat berita tersebut akan disiarkan oleh stasiun televisi lain. Lain lagi yang dilakukan oleh Metro TV meliput hal-hal yang dikerjakan oleh sang pemilik, mulai dari peresmian, menghadiri suatu acara dan yang lain sebagainya. Hal yang lebih aneh dilakukan oleh HT, pemilik yang satu ini sangat efektif memanfaatkan stasiun televisi yang dia miliki. Mulai memunculkan diri bersama pasangannya dalam suatu sinetron yang sangat diminati penonton, sampai melibatkan diri dalam reality show yang menunjukkan kebaikan hati dengan memberi bantuan sehingga membuat orang berpikir kalau dialah yang baik pribadinya.

Yang kedua, advertising dan entertaiment. Berita-berita yang tidak bernilai akan diabaikan. Sedangkan berita yang bermutu akan dikombinasikan dengan nilai-jual (yang marketable). Misalnya, apakah eksklusivitas pemberitaan bencana banjir dapat mendatangkan iklan? Bila tidak, pemberitaan hanya sebatas itu lalu saja. Bila mendatangkan iklan, pemberitaan itu ditayangkan berulang-ulang. Secara umum, cara pengambilan angle, pemotongan, fokus, pengambilan narasumber, hingga objek pemberitaan merupakan aspek yang disesuaikan kebijakan tiap-tiap media.

Yang ketiga sumber berita liputan yang biasanya dimuat merupakan informasi yang keluar dari mulut Humas pada suatu instansi pemerintah atau Public Relations pada perusahaan swasta. Kemudian informasi akan disaring lagi oleh Flack, dalam hal ini wartawan akan meminjam mulut orang lain dalam hal ini seorang ahli untuk berpendapat pada berita yang ingin diangkat. Yang terakhir yakni harus melewati Ideologi -hal ini bisa dilihat pada stasiun TV luar negeri contohnya saja di Amerika yang anti komunis– masih terbayang dalam ingatan kita seorang wartawan sering kali menjadi tawanan dalam melakukan peliputan luar negeri –dalam hal ini perang- dikarenakan wartawan menjadi ujung tombak dalam penyampaian ideologi stasiun televisi.

Hal tersebut akhirnya membuat orang-orang  sadar akan perlunya media penyampaian  bagi mereka sendiri. Karena sudah pasti hal-hal yang ingin disampaikannya belum tentu dimuat oleh media-media yang sudah ada karena tidak memiliki nilai jual. Yang terjadi hanyalah aksi demontrasi dan kekerasan saja yang ditampilkan tanpa memuat esensi dari tindakan yang dilakukan. Apalagi tentang wacana yang ke kirian masi menjadi hal yang tabu bagi masyarakat kita yang sudah dicekoki selama 32 tahun. Akhirnya muncullah media-media baru sebagai pembawa ide-ide mereka seperti zine, dan website.

Mengutip ungkapan Habermas “Kebebasan berbicara atau menulis bisa saja diambil dari kita oleh sebuah kekuasaan yang superior, namun itu tidak berlaku pada kebebasan kita untuk berpikir.” Jadi masihkah kita memiliki kebebasan untuk berpikir? ataukah pikiran-pikiran kita selama ini merupakan sesuatu yang sudah dirancang?

CONVERSATION

Back
to top