Pilihannya hanya dua: mendiamkan semuanya atau berbuat semampunya


Setahun lalu, pilihan itu tidak semudah hari ini. Selepas kehidupan 'struktural' lembaga dan 'aktivisme periodik' yang mengikutinya menjadi saat-saat yang paling membosankan sekaligus mengkhawatirkan. Kenyataan bahwa saya--dan beberapa kawan--yang tidak punya lagi akses langsung pada keputusan apalagi terhadap isu-isu yang kami anggap penting dan menyangkut orang banyak membuat kehidupan pasca-pengurus lembaga menjadi sangat membosankan.

Saya hanya bisa menjadi seorang semi-penonton. Menyusun konsep, strategi, lalu menyerahkan eksekusinya pada orang lain yang 'masuk setelah saya'. Itu semacam hukum kaderisasi. Logika dasar organisasi. Kesempatan belajar buat 'adik-adik'.

Namun rasa bosan itu berubah menjadi rasa khawatir. Dalam skala-skala tertentu, baik di Himpunan, BEM/Senat, hingga Universitas, ruang kosong di antara ekspektasi gerakan dan eksekusi oleh mereka yang sedang memegang tongkat kuasa di lembaga semakin tiba pada titik miris. Kesibukan tetek bengek 'seremoni' tahunan lembaga, friksi-friksi sok penting di internal, kemalasan-kemalasan untuk membangun komunikasi dan gerakan yang efektif antar lembaga, hingga ketakutan-ketakutan tak beralasan untuk berhadapan dengan masalah yang butuh daya getar. 

"pergi semua mi aktivisnya Unhas keluar kampus," ujar Ulla, sahabat berpostur jangkung yang kemudian membentuk grup online Syarikat Pemuda Mahasiswa (SPM) Unhas. Saya dan Maula mengiyakan. Kenyataan yang sebenarnya disadari tapi baru di galaui.

Bagi saya ada empat tipe orang saat ia selesai menjabat kepengurusan lembaga:

Pertama, golongan yang 'putus hubungan dengan nyamuk'. Orang-orang yang kembali tidur nyenyak. Kembali pantang begadang. Masa bodoh dengan gerakan, advokasi, atau urusan remeh temeh lembaga. Bersikap seolah ia telah melakukan hal yang luar biasa semasa kepengurusannya. Atau, bisa jadi, orang ini mengalami kekecewaan yang sangat dalam atau disingkirkan semasa ia bergelut di organisasi. Lalu banting stir menjadi seorang pengamat gerakan dan rajin update-status di media sosial.

Selanjutnya ada golongan yang insaf-akademik. Merasa bahwa sudah saatnya memikirkan masa depan setelah setahun-dua tahun menjadi sosok yang seolah-olah sangat sibuk. Akademik yang terbengkalai. IP yang terjun bebas. Dan akhirnya setelah mendapat desakan--entah dari pacar, orang tua, atau ketakutan dunia kerja--kemudian bertekad untuk fokus perbaiki nilai. Mendongkrak IP. Mengurangi intensitas gerakan. Bersikap seperti orang tua bijak yang akhirnya menyerahkan segala hal pada adik-adiknya. (meski bagi saya selalu tidak masuk akal orang-orang yang mengkambinghitamkan akademiknya atas nama aktivisme). Bagi tipe ini, kerja-kerja advokasi dan aktivisme seolah merupakan siklus periodik kehidupan kampusnya. Semacam siklus lahir-anakanak-remaja-dewasa-tua-lalu mati. Yah, hitung-hitung bisa jadi pelengkap CV.

Golongan ketiga, mereka yang meneruskan kerja-kerja aktivismenya untuk meniti karir. Yang mengidappower-syndrom. Haus kuasa. Penyakit ini biasanya menghinggapi orang-orang yang bergelut di organisasi yang sudah mapan, menasional, memiliki jaringan vertikal, dan memiliki afiliasi dengan organisasi massa atau partai politik tertentu. Para penderita penyakit ini cenderung melanjutkan kerja-kerja aktivisme dan dunia organisasinya untuk 'melompat' ke jabatan yang lebih tinggi dan strategis.

Bagi mereka, organisasi dan dunia aktivisme tidak ubahnya seperti jenjang karir atau batu-batu loncatan yang harus dilewati untuk mencapai maqam jabatan strategis dalam organisasi yang ia hidupi. Mungkin ini terdengar wajar bagi sebagian orang. Namun penyakit ini berdampak pada isu-isu dan kerja advokasi yang dilakukan biasanya hanya membawa isu-isu mayor made-in media atau pesanan 'instruksi nasional' dari Jakarta. Masalah-masalah faktual dan urgen di tengah masyarakat seperti penggusuran, sengketa tanah, pendidikan masyarakat kecil, seolah tenggelam dengan wacana-wacana seputar penggulingan-penggulingan kekuasaan. Ranah-ranah perjuangan yang lebih riil dianggap tidak penting lagi. Apalagi diperparah dengan arogansi bendera dan basis ideologis tertentu yang pada akhirnya malah memperlemah gerakan.

Ke empat, ada juga orang-orang yang meneruskan aktivitas organisasi dan membangun gerakannya tanpa peduli soal apa posisinya dalam struktur. Tidak terpaku pada soal periode-periode kepengurusan atau pola pikir feodal senior-junior. Dengan posisi dan peran berbeda, gerakan harus tetap dihidupi--meski dengan frekuensi yang naik turun. Menjadi mahasiswa dan kerja aktivisme sudah menjadi semacam jiwa dengan tubuh. Menyatu. Menubuh. 

Sayangnya, kampus yang menjadi dapur gerakan seolah semakin jauh dari iklim wacana kritis dan upaya-upaya membangun kesadaran individu dan massa. Dengan alasan yang kompleks dan saling bertaut, akhirnya keadaan ini sudah dianggap sebagai sebuah kondisi yang taken for granted. Tidak bisa di apa-apakan lagi. Biarlah kampus seperti itu, rakyat di luar lebih membutuhkan. Walhasil, para mantan fungsionaris yang biasa disebut 'aktivis kampus' seolah hijrah dari kampus ke masyarakat. Mereka kemudian memilih untuk terjun pada masalah-masalah di masyarakat. Menghabiskan sebagian besar waktu dengan masyarakat. Mengadvokasi kasus-kasus. Dengan bermacam kemasan metodologi, lembaga, dan organisasi.

Itu tidak salah. Sama sekali tidak. Namun ketika orang-orang ini 'menjauh' dari kampus, konsekuensinya kampus menjadi tidak terkelola. Tidak ada lagi para aktivis yang biasanya memeriahkan dunia kampus dengan diskusi hingga aksi-aksi demonstrasi yang membuka tirai ketidakpedulian. Para pengurus lembaga kemahasiswaan yang sedang menjabat pun mengalami krisis inisiasi, surplus kemalasan, dan over-dosis rasa takut.

Sejak 2009, taman Unhas semakin gersang. Diskusi semakin jarang. Isu-isu penting seperti (R)UU Pendidikan Tinggi, kasus-kasus pengusuran, hingga kasus-kasus lingkup kampus (seperti masalah pelarangan pengaderan dan kasus pedagang pintu nol); semuanya datang dan menguap begitu saja. Lembaga macet. FSLK mandeg. Organ ekstra sibuk dengan isu-isu ekslusifnya sendiri. Di forum-forum online hanya rame dengan perdebatan soal 'golongan tua' yang marah-marah dan 'golongan muda' yang kesal karena cepat sekali ditinggal pergi kakanda-kakandanya.

Setelah beberapa kali berbincang, akhirnya Ulla, Maula, dan saya mentok pada pilihan: mendiamkan semuanya atau berbuat semampunya.

Konsolidasi pertama pun dilakukan. Di perumahan dosen, kami mengajak beberapa orang kawan se-angkatan dan beberapa fungsionaris lembaga yang sedang menjabat dan aktif di FSLK. Pertemuan sore di februari 2012 yang singkat itu kami habiskan dengan mengupas kondisi terkini kampus sembari merancang langkah-langkah kecil apa yang bisa diambil, seperlunya, semampunya. Sore itu intisari percakapan kami berujung pada butuhnya usaha-usaha advokasi litigasi yang berbasis riset dan pola-pola perlawanan dengan metode yang variatif. 

Sebagai langkah awal, kami bekerjasama dengan LPPHN Makassar, Kak Sirul Haq, membuat pelatihan mini tentang keparalegalan. Di akhir pelatihan, kami membuat semacam 'rencana aksi' sebagai follow-up dan kritalisasi dari kegelisahan. Usulan waktu itu: membuat posyandu hukum. Terdengar cukup lucu. Namun itu adalah janin.

Pasca pelatihan, kami bertiga rooling kampus dari fakultas ke fakultas, bertemu kawan-kawan lama, bertanya kabar, berharap mereka punya kegelisahan yang sama, dan siapa tahu mau memilih pilihan sama: pilihan untuk tidak puas dengan 'kejayaan' aktivisme masa lalu.

Tidak mudah. Banyak kawan yang kami temui yang punya 'kegalauan' yang sama--bahkan lebih, namun berakhir dengan "mantap mi itu yang mau kalian bikin bro..". Sampai disitu.  Hingga akhirnya, di tawafkampus ketiga, di Fakultas MIPA, kami minum kopi sembari berbagi gelisah bersama dua mantan Ketua BEM MIPA, kawan Fadil dan Accong, serta beberapa kawan-kawan dari MIPA. Tidak sia-sia. Esoknya, Accong datang ke Lephas. Saya, Ulla, dan Maula yang sedang membahas pasal demi pasal RUU PT seperti mendapat suntikan tenaga baru. Asupan kopi baru. Meski waktu itu Accong masih datang dan pergi sesuka hatinya, namun di antara kawan-kawan yang lain, dialah yang paling terjaga keistiqomahan kedatangannya. Acong juga menjadi semacam "WR 2" yang memastikan asupan kalori kami tidak kurang untuk berpikir.

Di sela-sela pembahasan pasal-pasal yang seolah tanpa habis itu. Kami menyempatkan bicara tentang wadah yang bisa menghimpun para mantan fungsionaris dan orang-orang yang masih peduli. Sebentuk perkumpulan yang menawarkan advokasi dengan metode yang tidak usang dan menjadi kurang efektif. Rumah kecil untuk orang-orang muda, ceria, dan bahagia yang ingin berpusing ria dengan masalah ini itu. 

Lalu di suatu malam yang biasa, nama Lingkar Advokasi Mahasiswa tercetus begitu saja setelah hampir satu jam saya, Ulla, dan Maula mencari-cari nama yang pas dan 'seksi' untu wadah advokasi ini. Karena fokus gerakan yang kami inginkan itu agar berada dalam ranah litigasi, maka nama yang panjang itu bisa disingkat: LAW.

"LAW? Hukum?," Maula sempat memrotes usulan akronim itu. Ulla setuju dengan nama LAW. Dan karena waktu itu kami cuma bertiga, maka sudah jelas protes Maula kalah suara (oh, democrazy!) . Momen itu. Setahun yang lalu. 

Setelahnya, waktu berdetak dalam impuls yang terasa melambat. Satu persatu mozaik dibentuk. Kegiatan demi kegiatan. Pendampingan. Aksi jalanan. "kayak lama sekali miki berteman di'?" kataku di suatu hari kepada Yaya dan Hilda. Entah mengapa, saya merasakan postulat relativitas bermain disini. Waktu yang melambat dan melaju dalam ketidakteraturan. Entah dengan cara bagaimana.

adalah tidak mungkin LAW Unhas betahan setahun ini tanpa asupan semangat dan kerja dari generasi Litsar I dan II yang penuh gairah, asyik, dan berbahaya.

Hingga hari ini, pilihannya tidak lagi: mendiamkan semuanya atau berbuat semampunya. Kini, apakah kita harus berhenti menghela nafas atau mulai belajar berlari?

Sejarahlah yang akan menjawab. Selamat memilih!

Catatan ini diambil dari note teman

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.

Back
to top